Para
sufi, para ahli hakikat, selalu sahaja ribuan langkah lebih maju dan
lebih kedepan dari yang bukan sufi dan bukan ahli hakikat. Kata tauhid
senantiasa diertikan dengan menyucikan Allah dan tidak menyekutukanNya.
Para sufi,khususnya sufi aihdatul Wujud, mendapatkan pemahaman yang
lebih tinggi dari itu.
Marilah kita bahas empat derajat tauhid.
Tauhidul Asma
Persoalan
nama Allah merupakan persoalan yang sering dibahas asal-usulnya.
Sebagian lbahan bacaan menyebukan bahwa kata “Allah” merupakan destinasi
terakhir dari El, Eli, Elah, Ilah, Allah. Semua kata ini, konon,
berasal dari bahasa Aram. El digunakan untuk merujuk pada Dzat Mulia,
digunakan oleh Ezra. Sementara itu, Eli digunakan di zaman nabi Isa as.
Misalnya dalam kitab tertulis Yesus berteriak “Eli Eli Lama Sabaktani”
yang ertinya “Tuhan,Tuhan, mengapa Engkau tinggalkan daku.” Kemudian
kata Elah dan Ilah yangdigunakan untuk arti yang sama sampai pada bahasa
Arab (ilah artinya Tuhan) dan Allah dengan tujuan yang sama, Tuhan.
Tentang hal ini, sangat terbuka untuk dikritik.Jika dilihat dengan baik,
maka perjalanan sebutan Allah ini melaluiproses panjang namun pada satu
konteks, yaitu konteks bahasa lokal yangmenderivasi atau turun-menurun;
dari bahasa Aram, Ibrani, ke Arab.
Pertanyaannya
adalah, apakah benar Allah adalah nama Tuhan secara dzat?Hal penting
yang harus dicermati adalah bahwa al-Qur’an turun dengan bahasa Arab
yang mudah dipahami oleh masyarakat Arab sendiri. Misalnya nama Allah
sendiri. Dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 30 misalnya, Allah
mendeklarasikan dirinya secara demikian.
Allah
Maha Mengetahui, hanya kata“Allah” saja yang paling relevan bagi bangsa
Arab untuk merujuk pada diriNya. Bagaimana jika al-Qur’an tidak turun
dalam bahasa Arab, namun bahasa Inggris, tentu saja kita tidak akan
menyebut namaNya Allah namun God. Jika memang benar Allah adalah nama
Tuhan, maka betapa kasar dan tidak sopannya kita karena menyebut namaNya
tidak lebih dari sepertimemanggil nama teman kita. Kepada ayah kita
tidak memanggil nama, kepada guru kita tidak juga berlaku demikian,
tetapi kepada Allah kita memanggilnamaNya? Ini suatu hal yang tidak
pernah difikirkan oleh yang bukan ahli hakikat. Sesungguhnya, ketika
Allah mendeklarasikan ketuhananNya “innanyAnnallah” dimaksudkan
“Sesungguhnya Akulah Tuhan” dan Tuhan adalahhakikatnya, dan bukan nama
dzatNya yang sesungguhnya tidak berhuruf tidak pula bersuara. Sehingga
pada tahap nama, Allah hanyalah sebuah sebutanhakikat sebagai Tuhan dan
bukan nama dzatNya. Allah hanya mengajarkanbagaimana mensifatiNya lewat
asmaulhusnah, namun mengenai hakikatdzatNya sendiri, Allah adalah Sirr
(Rahasia). Oleh karena itu, al-Hallaj lebihsuka menyebut “Ana al-Haqq”
ketimbang “innany Annallah”. Nama dzatNyatidak tersentuh, dan hanya bisa
ditauhidkan dengan ma’rifat, Hu (Dia).Sebagaimana ketika para sufi
telah mengalami fana’, kebingungan melanda.Mereka tidak lagi bisa
membedakan mana Allah dan mana Allah dalamsebutan. Insan Wihdatul Wujud
tidak menemukan Tuhan sebagai Allah saatfana’ namun menemukan Dia
sebagai Dia.
Tauhidus Shifat
Setelah
mentauhidkan asma Allah secara ma’rifat sebagai sirr, maka sesudah itu
mentauhidkan sifat-sifat ilahiyah. Beberapa sifat yang sangat relevan
adalah bahwa Allah itu Wujud. Wujudnya Allah merupakan kenyataan maujud
insan.
Mentauhidkan
Wujud Allah adalah sekaligus mentauhidkan yang maujud. Allah hadir
dalam maujud insan, baik sebelum, sedang, dan sesudah maujud itu ada.
Jika melihat makhluk, maka itu adalah cerminan Qidam Khaliq. Kemudian,
Allah Qiyamuhu Ta’ala binafsihi, seperti huruf alif yang berdiri tegak
tanpa penyanggah apapun. Allah pun beriradah dan insan pun
demikian,hingga qudrat ilahiyah pun ada pada qudrat insaniyah seperti
yang telahdi paparkan sebelumnya.
Mentauhidkan
sifat Allah adalah mengumpulkan segala sifat kepada Yang Satu dan
mengembalikan Yang Satu kepada yang segala. Melihat sifat Allah pada
insan dan semesta, merupakan wujud tauhidus shifat, dan juga sebaliknya,
melihat sifat insan sebagai wujud sifat Allah. Akan tetapi hal ini
hanya berlaku untuk para sufi yang sudah berzuhud menolak dunia dan
akhirat. Bagi anda yang bukan atau baru akan menuju ke Wihdatul Wujud,
hal ini sangat diharamkan bagi anda; oleh karenanya anda pun
mengharamkanhal demikian.Mengakui bahwa sifat insan merupakan wujud
sifat Allah tanpa ma’rifat sebelumnya merupakan pengakuan buta, dan
kafir.
Bukan
hanya kebanyakan para ahli fiqih mengkafirkan ajaran ini, tetapi para
sufi pun akanmengharamkan pengakuan ini, jika diakui oleh orang yang
belum mengalaminya, atau belum melalui jenjang-jenjang yang sudah
ditentukan.
Tauhidul Af’al
Perbuatan
merupakan wujud sifat, dan begitu pula sebaliknya. Kita melihat bumi
berputar, matahari bergerak, angin bertiup, dan sebagainya,hingga
jantung berdetak, merupakan af’al Allah pada alam dan pada insan.
Mentauhidkan
perbuatan Allah maksudnya mengembalikan segala hakikat perbuatan pada
qudrat dan iradat, baik itu hakikat ilahiyah maupun insaniyah. Qudrat
Allah adalah bahwa Dia berkuasa melakukan apapun yang Dia inginkan, dan
Iradah Allah adalah bahwa Dia berkehendak sesuai dengan keinginanNya
sendiri. Tidak demikian pada perbuatan insan. Meskipun insan memilki
qudrat (kuasa) untuk melakukan apa yang diinginkan, tetapi insan
memiliki qudrat yang berada dibawah qudrat Allah. Begitu juga iradah
(kehendak), walaupun insan berkehendak pada sesuatu, namun iradah
Allahyang menentukan.Tauhidul af’al adalah mengembalikan segala
perbuatan insan yang dilakukan atas dasar qudrah dan iradah kepada
qudrah dan iradah Allah. Ertinya, kita tidak akan berkuasa tanpa izin
Allad, dan tidak pula mencapai kehendak tanpa izin Allah. Akan tetapi
hal ini tidak berarti bahwa semua perbuatan akan dihukumkan sebagai
perbuatan Allah. Perlu dipisahkan antara perbuatan Allah dan perbuatan
insan (Af’al Allah dan af’al insan).
Af’al
Allah meliputi af’al insan, sedangkan af’al insan berada di dalam dan
di bawah af’al Allah. Sehingga dari segi perbuatan, meskipun insan yang
mempertanggungjawabkan perbuatannya tanpa didzalimi oleh Allah, tetap
saja semua bergerak pada koridor yang sudah ditentukan oleh Allah
sendiri. Inilah mengapa sehingga para sufi yang perbuatannya sudah
terikat zuhud selalu merasa dibimbing oleh Allah.Sebagaimana ditegaskan
dalam sebuah dalil:
“Apa
bila Aku sudah mencintai hambaKu, maka Aku menjadimatanya dan denganKu
dia melihat, Aku menjadi telingaNya dandenganKu dia mendengar; Aku
menjadi lisannya dan denganKu diaberkata-kata...”
Dalil
ini menegaskan bahwa bagi orang yang sudah mentauhidkan perbuatan
(Af’al Allah dan insan) akan senantiasa terjaga, karena dia tidak akan
melakukan perbuatan apapun terkecuali itu diizinkan oleh Allah, dan
sesuai dengan ketentuan Allah sendiri. Inilah Wihdatul Wujud, dan bukan
menganggap bahwa perbuatan manusia merupakan perbuatan Allah. Saya
ingatkan, bahwa ini diharamkan bagi orang-orang yang belum sampai pada
tingkatan yang seharusnya; bukan dikafirkan oleh orang yang belum sampai
ilmunya.
Tauhiduzzat
Tingkat
ini adalah tingkat paling tertinggi dari mentauhidkan Allah.Tauhid
bukan semata-mata bertawakkal dan menolak tuhan selain Allah, tetapi
juga menolak segala sesuatu selain Allah. Akan tetapi penolakan ini
hanya bermaksud untuk mendapatkan pengenalan yang murni, tanpa ada
distorsi saja.Tauhid bukan hanya mengumandangkan tahlil dan melaknat
latta, uzza, dan manatta. Akan tetapi tauhid juga mensucikan Allah dari
segala sesuatu selain Dia, termasuk diri sendiri.
Jangan
mengira diri sendiri tidak bisa menjadi berhala. Jika seseorang telah
melakukan shalat selama puluhan tahun, hingga dahinya menghitam sebagai
bekas sujudnya, dan dia merasa sudah menjadi ahli ibadah, maka perasaan
dan dirinya itu akan menjadi “sesuatu” selain Allah yang boleh
menghalangi dia dari pengenalan Allah yang sesungguhnya. Allah adalah
Dzat Yang Maha Tinggi, Mulia, Indah, dan seterusnya. Dia tidak serupa
dengan apapun, dan tidak bisa digambarkan dengan apapun.Wahdatul Wujud
tidak pernah menggambarkan Dzat Allah, apalagi menyamakan Allah dengan
diri sendiri, ini fitnah. Wahdatul Wujud tidak pernah mengklaim bahwa
diri adalah Allah, ini juga fitnah. Wahdatul Wujudtidak pernah
menceritakan Dzat Allah, melainkan Wahdatul Wujud adalah sebuah
kesadaran mistis bertemunya dengan Allah tanpa diri sendiri. Allah tidak
akan pernah didapati dengan penglihatan, baik dengan matahati maupun
dengan mata kepala.
Namun
Dzat Allah boleh disadari hakikatNya,tentu saja hal ini tidak akan
diterima bagi orang-orang yang belum melewati tarafnya. Mentauhidkan
Dzat Allah adalah menyadari bahwa Allah memiliki DzatNya sendiri yang
terlepas dari dzat-dzat lain. Di saat yang sama, mentauhidkan Dzat Allah
adalah melupakan dzat-dzat lain, dan hanya Allah satu-satunya Dzat yang
Maha Ada; yang lain hanya diadakan saja.Di dalam hadits qudsi Allah
berfirman, “Disaat engkau hadir maka Akupun ghaib; dan disaat engkau
gaib maka Aku pun hadir.” Dalam hadits qudsilain “Sesungguhnya Akulah
yang maha Nyata, namun kenyataanmu telahmerenggut kenyataanKu.” Dua
hadits qudsi ini menjadi jaminan bahwakenyataan diri sendiri (maujud)
merupakan penghalang yang menyebabkankenyataan Allah (Ujud) menjadi gaib
Jangan
mengira diri sendiri tidak bisa menjadi berhala. Jika seseorangtelah
melakukan shalat selama puluhan tahun, hingga dahinya menghitam sebagai
bekas sujudnya, dan dia merasa sudah menjadi ahli ibadah, maka perasaan
dan dirinya itu akan menjadi “sesuatu” selain Allah yang boleh
menghalangi dia dari pengenalan Allah yang sesungguhnya. Allah adalah
Dzat Yang Maha Tinggi, Mulia, Indah, dan seterusnya.Dia tidak serupa
dengan apapun, dan tidak bisa digambarkan dengan apapun.Wahdatul Wujud
tidak pernah menggambarkan Dzat Allah, apalagi menyamakan Allah dengan
diri sendiri, ini fitnah. Wahdatul Wujud tidak pernah mengklaim bahwa
diri adalah Allah, ini juga fitnah. Wahdatul Wujud tidak pernah
menceritakan Dzat Allah, melainkan Wahdatul Wujud adalah sebuah
kesadaran mistis bertemunya dengan Allah tanpa diri sendiri.
Allah
tidak akan pernah didapati dengan penglihatan, baik dengan matahati
maupun dengan mata kepala. Namun Dzat Allah bisa disadari
hakikatNya,tentu saja hal ini tidak akan diterima bagi orang-orang yang
belum melewati tarafnya. Mentauhidkan Dzat Allah adalah menyadari bahwa
Allah memiliki DzatNya sendiri yang terlepas dari dzat-dzat lain. Di
saat yang sama, mentauhidkan Dzat Allah adalah melupakan dzat-dzat lain,
dan hanya Allah satu-satunya Dzat yang Maha Ada; yang lain hanya
diadakan saja. Di dalam hadits qudsi Allah berfirman, “Disaat engkau hadir maka Akupun ghaib; dan disaat engkau gaib maka Aku pun hadir.” Dalam hadits qudsilain “Sesungguhnya Akulah yang maha Nyata, namun kenyataanmu telahmerenggut kenyataanKu.”
Dua hadits qudsi ini menjadi jaminan bahwakenyataan diri sendiri
(maujud) merupakan penghalang yang menyebabkankenyataan Allah (Ujud)
menjadi gaib.
Untuk
mencapai derajat tauhiduzzat, maka insan harus mampu “mengingat hanya
Allah dan melupakan selain Allah” termasuk melupakan diri sendiri,
karena diri sendiri adalah sesuatu selain Allah.
Ketika
Dzat Allah menampakkan diri, maka dzat diri sendiri menjadi luluh
lantak, sirna seperti setetes air masuk ke samudra tak bertepi; lebur
seperti gunung-gunung hancur dan nabi Musa as pun pingsan (tidak
menyadari bahwa dirinya maujud). Proses demikian disebut fana’. Imam
Ali menyebutkan bahwa dia pernah mengalami hal ini (dalam kitab Tanyalah
Aku Sebelum Engkau Kehilangan Aku) bahkan Imam Ali (Sayidina Ali)
mengalami fana di dalam fana, hingga hanya Allah yang disaksikan, diri
sendiri sudah dilupakan. Fana’, menurut para sufi, juga terbagi menjadi
fana fil af’al, fana filasma, fana fis shifat, dan fana fiz dzat. Fana
tingkat ini adalah fana tauhid tertinggi, dan hanya dengan cara ini
insan dapat engenal Allah secara kaffah. Seluruh penjelasan dari
sebelumnya hingga di tahap ini merupakan serangkaian yang tidak dapat
dikaji secara terpisah.
Salah
satu penyebab adanya salah tafsir terhadap Wahdatul Wujud adalah karena
tafsiran terpisah. Semua ini juga tidak mungkin boleh didapati dengan
cara berfikir, namun dengan cara melaksanakannya. Oleh sebab itu, sangat
rugi orang-orang yang mengkafirkan dan membunuh para auliya Wahdatul
Wujud dengan berdasar pada pengetahuan dan kajian setengah jalan, sudah
barang tentu alasannya karena apa yang mereka sampaikan adalah sebuah
kesadaran spiritual yang luar biasa dahsyat. Akan tetapi, juga disadari
bahwa semua ini adalah rahasia Allah yang harus ditutupi. Tetapi sampai
bila? Jika semakin lama semakin banyak para auliya dikafirkan dan
dibunuh? Dan meskipun rahasia Allah, dalam sebuah hadits qudsi
disebutkan bahwa “Innahu Sirri wa Anaa Sirruhu” yang ertinya “Sesungguhnya hambaKu adalah rahasiaKu dan Aku adalah rahasianya. ” Rahasia Allah ada dalam diri kita sendiri, dan apa yang kita alami akan selalu menjadi rahasia Allah.
Sehingga
rahasia ini sebenarnya adalah rahasia antara kita dan Dia, sangat
personal dan oleh karena itu hanya boleh diungkap kebenarannya melalui
pengalaman dan bukan bacaan semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar