FahamanWahdatul al Wujud ini dianut oleh Abu Hafas al Naisabur, Abu Sa'id al Harraz, Junaid al Baghdadi, at Thusi, al Kalabasi, al Hallaj, Ibnu Arabi, Suhrawardi dan Maulana Rummi
Sedangkan Wahdatul al syuhud dianut oleh Muhammadan al Makki, Muhasibi al Sulami, Hujwiri, Al Qusyairi dan Imam al Ghazali serta Abdul Qadir Jilani dan Ahmad Rifa'i.
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami disebut sebagai sufi pertama yang membawa faham ittihad dalam erti seseorang telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, karena kesedarannya telah lebur bersatu dengan eksistensi Tuhan.
Munculnya fahaman ini telah menimbulkan sikap dan pandangan yang menyokong dan yang menentang di kalangan ulama. Tulisan ini berupaya mengkaji persoalan ini dalam sudut pandangan pemahaman dunia tasawuf. Dunia tasawuf adalah dunia rasa yang sarat dengan pengalaman kerohanian yang seringkali berada di luar lingkungan rasional dan kewarasan manusia. Perlu disedari bahawa sebelum terjadinya ittihad seorang sufi telah mengalami fana’ dan baqa’.Dalam keadaan demikian tentu tidak boleh dipakai ukuran yang boleh digunakan untuk menilai suatu luahan luarbiasa (syathahat) yang keluar dari mulut seseorang yang dalam keadaan sedar. Sangat disayangkan pengalaman sufi dan kerohanian seperti ini sering terungkap kepada khalayak awam hingga dipandang sebagai ucapan yang menyesatkan karena secara lahiriah melanggar prinsip tanzih dalam ajaran Islam.
Beliau mempunyai nama lengkap Abu Yazid Thaifur bin Isa, beliau dilahirkan di Bustham Khurasan pada tahun 200 H (813 M) an beliau lebih dikenal dengan nama Abu Yazid Al Busthami. Beliau wafat di Bustham pada tahun 261H (875M)
Abu Yazid dikenal sebagai anak saleh dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Ibunya
dengan tekun membimbing dan megirimnya untuk belajar agama ke masjid.
Setelah dewasa beliau melanjutkan belajar agama ke berbagai daerah untuk
berguru kepada ulama-ulama terkenal seperti Abu Ati dari Sind.
Kehidupannya
sebagai seorang sufi ditempuh dalam perjalanan yang cukup panjang,
kira-kira dalam waktu 30 tahun beliau berkelana menyusuri padang pasir,
hidup dengan zuhud, makan serba sedikit, tidur yang tidak begitu banyak.
Dari kezuhudannya itu beliau dapat mendekatkan diri kepada Allah dan
memperoleh ma’rifat yang hakiki untuk dapat mengenal Allah.
PENDAHULUAN
Abu Yazid al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Dia lahir sekitar tahun 200 H (813 M) di Bustam,bagian Timur Laut Persia. Di Bustam ini pula ia meninggal dunia padatahun 261 H (875 M); dan makamnya masih ada hingga saat ini banyakpengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan denngankuburan Hujwiri. Nasiri Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M. didirikandi atanya sebuah kubah yang indah oleh seorang Sultan Mongol, Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah seoarang keturunan dari Bustam itu. Abu Yazidadalah seorang tokoh sufi yang terkenal pada abad ke 3 Hijriyah. Datuknya Surusyan adalah seorang penganut agama Zoroaster (majusi), yang kemudian masuk Islam. Sedikit sekali orang mengetahui tentang sejarah hidupnya. Jika tidak ada pengarang seperti at-Attar, orang tidak mengenalnya sama sekali. Siapa Abu Yazid itu, beberapa catatan mengenai hidupnya hanya berupa catatan-catatan ringkas sufi belaka
Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar agama Islam menurut mazhab Hanafi. Kemudian ia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan hakikat, begitu juga tentang fana’ dari Abu Ali Sindi. Dia tidak meninggalkan tulisan, tetapi pengikut-pengikutnya mengumpulkan ucapan/ajaran-ajarannya. Abu Yazid adalah seorang zahid yang terkenal. Baginya zahid itu adalah seseoarang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fas, iaitu zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat dan zuhud terhadap selain Allah. Dalam fas terakhir ini ia berada dalam keadaan mental yang menjadikan dirinya tidak mengingat apa-apa lagi selain Allah. Abu Yazid merupakan seorang tokoh sufi yang membawa ajaran yang berbeza dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak ditentang oleh ulama Fiqh dan Kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara. Meskipun demikian,ia memperoleh banyak pengikut yang percaya kepada ajaran yang dibawanya. Pengikut- pengikutnya menamakannya Taifur. Kata yang diucapkannya seringkali mempunyai erti yang begitu mendalam, sehingga jika difahami secara zahirr akan membawa kepada syirik, karena mempersekutukan antara Tuhan dengan manusia.
Memang dalam sejarah perkembangan tasawuf Abu Yazid dipandang sebagai pembawa faham al-fana’ dan al-baqa’ serta sekaligus pencetus fahamal-ittihād; dan sehingga beliau digelar sebagai Orang pertama dari kaum sufi yang mabuk kepayang ..
Apa yang dimaksud dengan al-fana’, al-baqa’ dan al-ittihād yang menjadi inti dari ajaran tasawuf Abu Yazid ini akan dihuraikan pada bahagian kedua berikut ini,
Ajaran Tasawufnya ABU YAZID AL BUSTAMI
1. Fana dan Baqa'
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana' dan baqa'. Beliau dipandang sebagai ahli sufi pertama memberikaan ajaran fana dan baqa.
Dari
segi bahasa, fana' berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau
lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diertikan sebagai keadaan
moral yang luhur.
Dalam
hal ini Abu Bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H / 988 M) mendefinisikannya :
"hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari
segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan
dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua
kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Pencapaian Abu Yazid ketahap fana' dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah.
Perjalanan
Abu Yazid dalam menempuh fana itu sebagaimana dijelaskan : "Permulan
adanya aku di dalam Wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung yang tubuhnya
dari Ahdiyat, dan kedua sayapnya daripada daimunah. (Tetap dan kekal).
Maka senantiasalah aku terbang di dalam udara kaifiat sepuluh tahun
lamanya, sehingga aku dalam udara demikian rupa 100 kali. Maka
sentiasalah aku terbang dan terbang lagi di dalam medan azal. Maka
kelihatanlah olehku pohon ahdiyat" (lalu beliau terangkan apa yang
dilihatnya pada pohon itu, buminya, dahannya, buahnya dan lain-lainnya.
Akhirnya beliau berkata : "Demi sedarlah aku dan tahulah aku bahwasanya :sama sekali itu hanyalah tipuan khayalan belaka".
Kata-kata yang demikian dinamai syatahat, artinya kata-kata yang penuh khayal, yang tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum.
Pada
suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Tuhan dan bertanya kepada-Nya: ”
Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu?”. Tuhan menjawab:
"Tinggalkanlah dirimu dan datanglah".
Peninggalan Abu Yazid adalah menghilangkan kesedaran akan dirinya dan alam sekitarnya untuk ditumpukan kepada Tuhan. Proses ini disebut juga dengan at-Tajrid atau al-fana' bittauhid.
Ucapan-ucapan
Abu Yazid yang menggambarkan bahawa ia telah mencapai al-fana' antara
lain : "Aku kenal pada Tuhan melalui diriku sehingga aku hancur (fana),
kemudian aku kenal pada-Nya melalui diri-Nya maka aku hidup (hayat).
Kehancuran (fana') dalam ucapan ini memberikan 2 bentuk pengenalan (Al-Ma'rifat) terhadap Tuhan, yaitu :
a. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Abu Yazid.
b. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Tuhan.
Baqa’
Adapun baqa'
berasal dari kata baqiya. Erti dari segi bahasa adalah tetap. Atau
menetap dalam Allah untuk selamanya. Sedangkan berdasarkan istilah
tasawwuf bererti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Aadapun
fahaman baqa' tidak dapat dipisahkan dengan fahaman fana' karena
keduanya merupakan fahaman yang berpasangan. Baqa merupakan tahap
terakhir. Jika seorang sufi sedang mengalami fana', ketika itu juga ia
sedang menjalani baqa'.
Menurut
pandangan sufi, setelah melalui latihan kerohanian, penghayatan
zikirillah, perbuatan kebajikan, pengabdian kepada Allah yang sebenar,
penghapusan unsur-unsur kejiwaaan, maka yang tertinggal dalam diri sufi
ialah sesuatu yang hakiki dan sesuatu yang abadi
Dalan
jalan keruhanaian, sesudah tahap fana dalam Allah. Allah menetapkan
hamba Nya di dalam kekdudukanan segala kedudukan (Maqam Al-maqamat) atau
disuruhnya kemblai ke dunia untuk meyempurnakan mereka yang belum
sempurna. Kaum ariffin menetap dalam Allah, tetapi pergi kembali kepada
makhluk dengan cinta, kemurahan, kehormatan dan kemuliaanNya. Kaum
Ariffin yang mencapai keabdian selepas fana ini ditujukan kepada manusia
yang sempurna yang harus bekrja dan beramal di dunia , membimbing
mereka yang belum sempurna. Jika tidak diberi tugas ini, Allah
menyibukkan hamba Nya dengan dirinya sendiri dalam kedudukan segala
kedudukan.
2. Ittihad
Ittihad adalah penyatuan, iaitu penyatuan dengan Tuhan tanpa ada perantara apa pun.
Abu
Yazid menyebutnya dengan Tajrid fana at tauhid. Ittihad adalah tahapan
selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana
dan baqa'. Hanya saja dalam tulisan-tulisan terdahulu, perbahasan
tentang ittihad ini tidak ditemukan. karena pertimbangan keselamatan
jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dilaksanakan merupakan pertanyaan
yang sangat baik untuk dikaji dengan lebih lanjut. Dalam
tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang
mencintai dan yang dicintai menyatu, baik dirinya maupun
perbuatannya.Dalam ittihad identiti telah hilang dan identiti menjadi
satu. Sufi yang bersangkutan, karena fananya tak mempunyai kesedaran
lagi dan berbicara dengan nama Tuhan
Al Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana dan baqa' untuk mencapai ittihad dengan Tuhan
Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan :
Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan, lalu Ia berkata: "Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu.”
Aku menjawab: "Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi
jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah
aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku,
mereka akan berkata: “Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.”
Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut :
Tuhan
berkata: ”Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Aku
pun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah
Engkau. Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi
satu. Tuhan berkata kepadaku, ”Hai engkau” . Aku dengan perantaraan-Nya
menjawab, ”Hai aku” Ia berkata, "Engkaulah yang satu. Aku menjawab,
akulah yang satu”. Ia berkata, ”Engkau adalah engkau. Aku menjawab: ”aku
adalah aku."
” Maha suci aku, maha suci aku, maha besar aku”.
”Maha suci aku tiada dalam baju ini selainnya Allah”
Dalam
ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Abu yazid. Ia
tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata
demikian
Suatu ketika seorang melalui rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu.
Abu
Yazid bertanya, "Siapa yang engkau cari ?" Orang itu menjawab. "Abu
Yazid". Abu Yazid berkata, "Pergilah, di rumahmu, dia tidak ada, kecuali
Allah Yang Mahakuasa dan Mahatinggi”
Ucapan-ucapan
Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sekilas memberikan kesan
bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu, dalam sejarah, ada sufi yang
ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.
Kejadian-kejadian yang terjadi seperti diatas, mungkin itulah yang dimaksud dalam hadis Rasulullah SAW, yang bermaksud:
”Tidak
cukup cara pendekatan hamba Ku kepada Ku dengan hanya menjalankan
ibadat yang diperlukan ke atasnya, supaya Aku mencintainya. Akan tetapi
hambaku dapat mendekati Aku dengan ia selalu memperbanyakkan
amalan-amalan sunat (nawafil) demikian banyaknya sehingga ia Aku cintai.
Maka apabila ia Aku telah cintai, maka pendengaraKU, menjadi
pendengarannya, tanganKu menjadi tangannya, yang dengan dia ia memegang
dan kakinya yang dengan dia ia berjalan dan jika ia meminta kepada Ku
maka Aku makbulkan dan jika ia meminta dilindungi dari segala kesulitan,
aku lindunginya”
Akhirnya beliau berkata:
”Daku
tidak pernah mengaku sebagai Tuhan. Proses ittihad adalah naiknya jiwa
manusia ke hadrat Ilahi, bukan melalui penyatuan. Leburnya segala
sesuatu dari kesedaran dan pandangnnya, yang disedari dan dilihat hanya
hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan ia tidak melihat dan menyedari
sendiri kerana dirinya terlebur dalam Dia yang dilihat”
”Demi sedarlah daku dan tahulah daku bahawasnya sama sekali itu hanyalah tipuan khayalan belaka”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar