Nafsu ammarah salah satu dari tujuh nafsu dalam diri manusia.
Secara zahirnya amarah bererti mengajak atau menyuruh. Sedang nafsu itu
sendiri berrrti jiwa. Seperti apayang terdapat dalam tingkah laku
sehari-hari.
Nafsu ammarah acap mengajak akal-fikiran manusia untuk berangan-angan.
Biasanya dengan percikan-percikan yang menggiurkan: makan, minum, tidur,
dan jima’ secara berlebihan.
Allah berfirman:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahanku), karena sesungguhnya nafsu (ammarah) itu selalu menyuruh
kepada kejahatan.” (QS. Yusuf, 53)
“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 179)
Nafsu ammarah disebut juga nafsu binatang. Bahkan, Imam Ghazali dalam
bukunya yang terkenal Ihya’ Ulumuddin menyebutnya dengan lanjut: bahimiyyah dan sabu’iyyah (binatang ternak dan binatang buas).
Sifat binatang ternak dan binatang buas itu mengeram dalam diri manusia.
Mulai dari jiwa sampai jasmaninya. Wujudnya dalam bentuk perilaku
makan, minum, tidur, bersenggama, dan tempat yang serba berlebihan,
tidak islami. Puncaknya: hubbud dun-ya wakarahatul maut (cinta dunia dan
takut mati).
Pemelihara Jasmani
Ammarah salah satu nafsu yang meliputi jiwa manusia. Nafsu itu mewarnai segala perbuatannya yang serba berlebihan (tusrifu).
Jika nafsu amarah telah menguasai akal-pikiran manusia, maka tabiatnya
akan condong pada kehidupan yang serba mewah. Meski, untuk mencapainya
harus menempuh jalan yang melanggar syariat Islam. Jika nafsu amarah
telah menguasai akal-pikiran manusia, maka tabiatnya akan condong pada
kehidupan yang serba mewah. Meski, untuk mencapainya harus menempuh
jalan yang melanggar syariat Islam.
Namun di sisi lain nafsu ammarah juga berperanan sebagai pemelihara hidup jasmani. Ini suatu tanda bahwa semua yang diciptakan Allah tidaklah sia-sia.
Nafsu ammarah sebetulnya bukan beban bagi manusia. Sebab nafsu ammarah
juga berguna bagi manusia dalam memelihara jasadnya selama hidup di
dunia.
Hamba dunia
Jika nafsu amarah menguasai diri manusia maka jadilah ia sebagai orang
yang tamak, rakus, loba dan berbagai macam sifat tidak terpuji lainnya.
Bahkan tidak sedikit yang lalai dalam urusan agama karena disibukkan
urusan dunia.
Mereka suka bermegah-megahan, gemar menimbun kekayaan tanpa menghiraukan
kewajiban berzakat. Mereka lebih senang menghabiskan harta di jalan
setan (maksiat) daripada di jalan Allah. Mereka telah diperbudak dunia.
Tentang hal ini, ada hadist berbunyi:
“Wahai dunia, berkhidmatlah kepada orang yang berkhidmat kepada-Ku,
dan perbudaklah orang yang mengabdi kepadamu!” (HQR. Al-Qudha’I, dari
Ibnu Mas’ud)
Orang sering tak sadar, kehidupan dunia ini tak lebih dari fatamorgana.
Dengan nafsu ammarah manusia sering berambisi ingin “memiliki dunia”.
Ada rasa tidak puas dengan apa yang telah dikaruniakan Allah baginya.
Allah berfirman:
“Dijadikan indah pada pandangan
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Al-Imraan,
14)
Atau pada firman yang lain:
“Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya
kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiyaa’, 35)
Ammarah Bahimiyyah
Nafsu ammarah bersalutkan bahimiyyah itu serupa dengan laku hidup
binatang ternak dalam hal memenuhi kebutuhan jasmaninya. Tidak heran,
orang yang jalan pikirannya dikuasai nafsu ammarah berslutkan bahimiyyah
laku-hidupnya sering seperti binatang ternak.
Dalam kaitan nafsu ammarah bersalutkan bahimiyyah kiranya perlu
diperhatikan pengertian kalimat “berlebih-lebihan” atau “pemborosan” dan
“sederhana”, sebagaimana acap disebut dalam Al Qur’an.
Pengertian “berlebih-lebihan” dan “pemborosan” ialah perbuatan yang
melampaui batas yang wajar. Sedang “sederhana” ialah perbuatan menahan
diri dari kemampuan maksimal yang dimilikinya. Dua pengertian tersebut
tentu tidak lepas dari jalan-jalan syari’at islam.
Orang yang sering menggunakan hartanya untuk kemaksiatan dan kejahatan,
baik lahir maupun batin, disebut “golongan manusia boros”. Pemboros,
adalah saudara atau teman-teman setan. “Tidaklah setan mempunyai famili,
melainkan bangsanya sendiri”.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan
setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” Al-Israa’ Ayat 27
Makan dan minum memang tidak dilarang, asal tidak berlebihan.
Sesuai dengan firman Allah:
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan”. (QS. Al A’raaf, 31)
Atau menurut Hadis Rasulullah SAW:
“Makanlah, minumlah, pakailah dan bersedakahlah jangan
berlebih-lebihan dan janganlah untuk bermegah-megahan.” (HR Abu Daud dan
Ahmad)
Memang, “jalan tengah” adalah yang tidak berlebih-lebihan. Termasuk
urusan makan dan minum. Terbukti, penyakit kebanyakan faktor penyebab
utamanya adalah berlebihan dalam soal makan dan minum. Sebab, perut
biasanya sumber penyakit dan seburuk-buruk tempat.
Ada hadis yang dengan amat bijaknya mengatur urusan perut ini:
“Tidak ada satu wadahpun yang diisi oleh bani Adam lebih buruk dari
perutnya, cukuplah baginya beberapa suap untuk memperkokoh tulang
belakangnya agar dapat tegak. Apabila tidak dapat dihindari baiklah
sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum dan sepertiga lagi untuk
napasnya”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Ammarah Sabu’iyyah
Nafsu ammarah bersalutkan sabu’iyyah ialah nafsu yang sifatnya seperti
binatang buas dalam cara mencari atau memenuhi kebutuhan jasmaninya.
Seperti: makan, minum, tidur, kawin, dan sebagainya. Tidak heran, orang
yang jalan fikirannya dikuasai nafsu ammarah bersalutkan sabu’iyyah maka
dalam mencari dan memenuhi keperluan hidupnya ia sering berlaku seperti
binatang buas.
Lihat saja tabiat orang yang dikuasai nafsu ammarah bersalutkan
sabu’iyyah: sodok sana, sodok sini! Cengkeram sana, cengkeram sini!
Sungguh sangat menjelekkan
Dengan kekuasaan, mereka merasa tinggi serta dapat mengurus si miskin.
Dengan harta, mereka merasa terhormat walaupun berbuat nista dan
maksiat. Tahukah mereka apakah sebetulnya harta itu?
Allah berfirman:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al Anfaal, 28)
Memang, sudah menjadi fitrah manusia untuk mencintai dan banyak
keinginan dalam meraih kehidupan dunia. Namun demikian, tetap harus
difahami bahwa kenikmatan duniawi hanya sempadan kesenangan di dalam
hidup yang sementara..
Firman Allah:
“Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini (syahwat), yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS.
Ali Imran, 14)
Al Qur’an sebagai penawar
Pada jiwa setiap manusia memang sudah terdapat benih nafsu ammarah
bersifat bahimiyyah maupun sabu’iyyah. Hanya gelombangnya yang berbeza.
Maka itu, upaya mengendalikan gerak nafsu ammarah itu perlu, sebagai
ikhtiar untuk mencapai kemuliaan rohaniah.
Untuk itu, Allah telah menurunkan Al Qur’n sebagai penawar yang sangat
mujarab terhadap penyakit apa saja. Penyakit lahir maupun batin. Bahkan
Al Qur’an juga menjadi rahmat bagi setiap orang yang beriman, dan bukan
orang yang zalim:
Sebagaimana firman-Nya:
“Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu
yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan
Al-Qur’aân itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain
kerugian.” (QS. Al-Israa’, 82)
Tiga tahap Penawar Nafsu Ammarah
Penawar nafsu ammarah meliputi tiga tahapan. Iaitu:
(1) ilmu ma’rifah;
(2) dzikrullah yang berterusan, dan
(3) mujahadah.
Berkaitan ilmu ma’rifah hendaklah seseorang belajar ilmu-ilmu
tentang sekitar aib nafsu. Untuk itu, tentu perlu bimbingan seorang
ulama atau Syekh Mursyid. Ilmu ma’rifah tentu tidak lepas ilmu tauhid.
Untuk itu, perlu pengenalan hakikat diri lahir dan batin. Jika orang
telah mengenal dirinya secara kaffah (sempurna), niscaya ia tidak akan
mudah tertipu oleh dirinya sendiri. Sebab, musuh yang paling berbahaya
dan pandai menipu adalah diri sendiri. Yang dimaksud diri ialah nafsu
fujur (jiwa fasik) alias nafsu ammarah.
Manusia yang tidak mengenal dirinya, lahir maupun batin, akan
terombang-ambing oleh tipuan nafsu ammarah. Akibatnya, ia mudah lena
oleh pujuk rayu setan.
Dan setan bersembunyi di dalam dirinya sendiri.
Allah berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan
seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan
barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun, niscaya dia
akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az-Zalzalah, 7-8)
Zikrullah yang berterusan juga merupakan alat pembersih jiwa.
Sesuai dengan firman Allah:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan diri dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat
(berhubungan dengan Tuhannya)”. (QS. Al A’laa, 14-15)
Zikir yang terus menerus dapat menenangkan jiwa. Tidak akan tenang jiwa
seseorang melainkan jika jiwanya dalam keadaan bersih dari kotoran
maksiat. Dan tidak akan bersih jiwa seseorang melainkan dengan
menjalankan zikir yang terus menerus.
Dan sebaik-baik zikrullah bagi orang-orang yang masih pada tahapan
pembersihan serta menundukkan nafsu ammarah ialah zikir nafi itsbat:
لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ
Laa Ilaaha Illallaah (Tidak ada tuhan kecuali Allah”. Hal itu harus dilakukan terus menerus.
“Orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berdo’a: “Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ar-Ruum, 32)
Ccara mujahadah. ertinya, memerangi hawa nafsu dengan cara
menghindari segala bentuk kemaksiatan lahir maupun batin. Juga melawan
gejolak kehendak jiwa yang mengajak untuk berbuat nista jahat dan yang
menghalangi tujuh anggota sujud.
Jika seseorang telah mengetahui hakikat kehidupan dunia dan menetapkan
zikrullah secara terus menerus, niscaya ia akan selalu kuat jiwanya
dalam menghadapi segala kondisi yang memperdayakan. Akal dan pikirannya
tidak mengikuti gejolak hawa nafsu yang selalu mengajak berkhayal dan
berbuat kejahatan.
Maka jika seseorang telah mampu mengendalikan hawa nafsunya, niscaya
nampaklah sifat dan perbuatannya tidak dibuat-buat. Atau sekadar
terpaksa dalam mengamalkan syari’at Islam.
Tentang hal ini Allah pun berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang
yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya dan
orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak
berguna.” (QS. Almu’minun, 1-3)
Tiga tingkatan yang meliputi ilmu, zikir, dan mujahadah tersebut tentu
saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Tidak dapat seseorang
mencapai kebersihan diri (nafsu) bila sekadar mengamalkan zikir. atau
mengamalkan salah satu di antara ketiganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar